
_______________________________________

Kontributor
Mochammad Arifin adalah seorang mahasiswa tingkat akhir di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sangat mencintai fotografi. Karir jurnalistiknya dimulai sejak SMA saat menangani penerbitan majalah sekolah. Saat ini sedang berkeinginan untuk menjadi seorang traveler dan bapak yang baik.
_______________________________________
Pada tanggal 28 Maret 2009 sekitar pukul 13.30 WIB tepat satu hari setelah peristiwa tragedi Situ Gintung saya langsung menuju tempat kejadian tragedi Situ Gintung. Berangkat dengan menggunakan angkutan umum, firasat saya ternyata benar, mendekat di tempat kejadian jalanan macet total. Saya pun berhenti di Terminal Lebak Bulus. Suasana sudah hiruk pikuk. Tragedi besar ini memang datang tiba-tiba.
Semakin penasaran saya pun berjalan menuju kampus UMJ. Banyak pos dan tenda pengungsian didirikan. Saya pun jalan lagi menuju Fakultas Kedokteran yang berada di belakang, saya melangkah dengan hati penuh tanya; apa yang sudah ditinggalkan air setelah menerjang pemukiman padat di bawah Situ Gintung? Saya pun segera mendapatkan jawabannya, ternyata suasananya memang sungguh berbeda.
***
Dengan perasaan penasaran akan tragedi yang banyak menelan korban jiwa itu, perlahan demi perlahan angkutan yang saya tumpangi hampir mendekati terminal lebak bulus. Pada akhirnya saya turun di Terminal Lebak Bulus yang pada saat itu suasana yang macet total, aku melangkah dengan hati penuh tanya. Ternyata suasananya memang sungguh berbeda.
Memang tidak separah tsunami Aceh, namun tragedi Situ Gintung ini juga menyisakan cerita yang mengerikan. Bau mayat dimana-mana. Baunya sangat menyengat, seperti bau bangkai tikus, kadang tercium kadang hilang. Suatu saat saya melihat beberapa relawan yang mencoba untuk menggeser sebuah bekas jembatan kecil, diperkirakan ada mayat dibaliknya. Karena tidak ada alat berat maka pekerjaan itu dilakukan secara manual, gotong royong. Para petugas baik dari TNI, Tim SAR Jakarta Selatan, Resimen Mahasiswa, Polisi Pamong Praja, dan sejumlah masyarakat sekitar sibuk membersihkan sisa-sisa puing bangunan dan lumpur yang bercampur tanah merah yang tebalnya sekitar 10 cm.



Saya sendiri masih saja penasaran, bagaimana air yang sepele itu bisa melumatkan sebuah desa penuh penduduk seperti ini? Seperti semuanya habis tak berbekas. Ada rumah yang hanya menyisakan kusen, sedangkan kacanya bablas. Ada juga bangunan yang masih utuh tapi atapnya hilang disapu arus. Jendela pun hanya menyisakan kain dan daun-daun kelapa yang tersangkut. Mobil juga ada yang nyungsep di ayunan, tapi lebih banyak sepeda motor nahas yang tidak sempat diselamatkan pemiliknya.



***
Di tengah kehancuran yang hebat itu saya masih bisa melihat beberapa bangunan yang tegak berdiri. Salah satunya adalah Masjid Jabalur Rahman. Puncak masjid masih mengkilap, seakan tak pernah datang banjir malam itu. Beberapa warga dibantu dengan Front Pembela Islam bekerja membersihkan pelataran dan karpet masjid yang penuh lumpur.
Saya jadi merinding sendiri. semoga bencana ini tidak datang lagi.
6 comments:
aku suka Fin....bagus foto2nya...
Satu hal yg baru aku sadari...setelah baca tulisan kamu...
hmm...mungkin....hanya mungkin loohh....tragedi situ gintung terjadi agar para konglomerat ibu kota melihat sendiri soal kuasa-Nya...dan mau sekedar menyisihkan rasa empati dari sekelumit hartanya....
Ga ada alasan lagi sekarang....
ga perlu jauh jauh ke aceh (tsunami), ga usah capek-capek ke Jogja (gempa)...atau ke Semarang (banjir)...cukup ke kawasan tanggerang, belakang UMJ....orng dah bisa merasakan 'sensasi kematian'.....
Cukup sudah....
mas arifin, it's a great job! thanks for contribution...
:)
bencaNa situ giNtung iNi haRusx bisa meMbuaT qTha lbH awaRE lg terhadaP lingkungan daN sekitaR qTha..
aLam juGa bs muRka..
ini suatu ujian apa peringatan ya?? memang seharusnya alam yang indah ini perlu dijaga baik-baik...
buat mas aripin 5 jempol dah. bagus banget nih ulasannya..aku suka banget ama miniatur motorcrossnya yang nyangsang...he2
nice pictur n nice tulisannya..... trus nulis n motret key...
Post a Comment