
Berangkat dari Jogja lewat tengah malam akhirnya saya bisa mendapatkan tempat duduk yang leluasa di dalam bus Sumber Kencono malam. Saya memang mencari yang murah meski merek Sumber Kencono sangat lekat dengan imej ugal-ugalan dan kecelakaan. Saya pun menyempatkan diri untuk tidur, memeluk tas yang berisi baju kotor dan tugas kuliah.
Sebelumnya sempat berdiskusi dengan kenek, saya tanyakan dimana jalur tercepat untuk sampai menuju Malang. Kenek pun menyarankan saya untuk berhenti di Jombang dan melanjutkan perjalanan dengan bus domestik jurusan Jombang-Malang.
Setibanya di Jombang jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat. Setelah turun di terminal Jombang saya pun seegera mencari bus lanjutan ke Malang. Biasanya bus yang digunakan adalah Puspa, perjalanan dua setengah jam menuju Malang pun bisa ditebus dengan 14 ribu rupiah.
Awalnya saya pikir perjalanan ini akan sangat membosankan, namun pandangan saya berubah ketika saya melihat peta. Ternyata perjalanan dari Jombang menuju Malang melewati punggung dua gunung, salah satunya Gunung Kawi. Feeling saya ini perjalanan bakal menyuguhkan banyak pemandangan hebat nantinya.



Saya ke Malang Tempo Doeloe ditemani sahabat saya, Izza. Dia mengajak saya untuk melakukan riset grafis. Namun kunjungan saya agak sedikit terganggu dengan adanya hujan yang cukup deras, hujannya cukup merata di seluruh Malang. Akhirnya saya pun hanya menghabiskan waktu berdiskusi dengan Izza di sebuah warung yang menjajakan wedang ronde. Ternyata ronde itu menjadi lebih nikmat saat hujan turun. hehehe.


Menjelang maghrib hujan pun mulai reda. Saya pun kembali meyusuri jalan Ijen dengan Izza. Saya mencoba gulali Jawa yang banyak dijajakan di Malang Tempo Doeloe. Saya pilih rasa jahe, sedangkan Izza memilih rasa mocca. Gulali sendiri adalah semacam karamel yang dibuat dari gula Jawa, sangat kental dan ditambatkan pada sebuah batang bambu. Harganya seribuan, cukup murah untuk sebuah kenangan masa lalu.






Saya pun menyempatkan diri mencicipi tebu yang dipotong-potong sekitar lima sentimeter dan ditusukkan ke sebilah lidi. Seperti sate, namun yang ini terasa manis dan menyegarkan. Harganya juga seribu rupiah, dan kita akan mendapatkan sekitar sepuluh tusuk. Diikat melingkar, seperti bunga yang sedang merekah. Mungkin istilah kembang gula berasal dari sini.

NB:
Makasih buat Deri, Yoga, dan Sani atas tumpangannya. Makasih buat Izza atas guidancenya. Makasih buat pak Mardian, teman ngobrol saya di bis, semoga saya bisa mengikuti jejak bapak menjadi vegetarian.
6 comments:
ancrottt ga bilang kalau ke MTD juga...
aku ada disana juga...
hiks2...hujan memang membunuh banget...
wah kayaknya festival yang keren. saya iri. di jogja kapan ya..
tepatnya Pare-Pujon
sebuah jalur terindah selama traveling di Jawa Timur
bukit-bukit menjulang indah berderet-deret memuncah di sisi kiri
gemericik air mengsusik bebatuan menimbulkan percik-percik yang mengundang untuk sejenak berhenti dan menikmati, di sisi kanan
belum lagi satu dua rumah-rumah unik yang kadang dijumpai, jembatan-jembatan bambu sederhana namun kokoh, fantastis.
ditambah jalan berkelok menanjak mengalur terulur sulur. sungguh nikmat menggeber Smashku di sana
sejuknya menyegarkan dan menenangkan. hembusan anginnya melenakan. dan kabutnya menghidupkan
sayang jika hanya dalam kungkungan kaca kendaraan.
satu lagi manusia yang gagal kutemui waktu MTD!
WTH kau ini Bung!
hujan di hari I alias pas pembukaan MTD, bikin pala pening. tapi lumayan dapet satu kaos MTD..
hahahaha...hiks!pdhl gw mo ngliput ksno boi...tp msh trkndla pkrjaan.mg korespondenq yg diMLG bs mbrikn britax k gw...hiks! dasar ambrooll...!
lewat selorejo yak...wah..teringat pas itu m temen2 : duren muda nglundung....huhuhuhu....ktipu!
waduh foto2mu membuat yang indah menjadi jauh lebih indah!
Post a Comment