
________________________________________________
Kontributor

Galih Setyo adalah seorang penggiat alam bebas. Aktif di kegiatan kepanduan dan menyukai trekking. Motto hidupnya seperti anak pandu di seluruh dunia; a scout protects nature, a scout is joyful! Sebagai seorang petualang Galih bisa ditemui di blog pribadinya myscoutchemistry.wordpress.com. Saat ini Galih sebagai abdi negara di sebuah departemen yang membidangi pembangunan desa tertinggal. Pekerjaan ini membawa Galih melangkah jauh dan lebih jauh lagi untuk mengenal Indonesia.
________________________________________________
Orang Belanda pernah bilang “..Tuhan menciptakan alam semesta saat tersenyum..” Bisa jadi ini benar dan bukan basa basi belaka. Selain kecantikan mojang Priangan yang tersohor bagi para pria seantero nusantara, panorama tanah Sunda adalah salah satu buktinya.

15 April 2010
Ini kunjunganku yg kedua ke Kawah Ratu setelah kunjunganku yang pertama 2 bulan sebelumnya gagal, karena ada tim Pecinta Alam dari salah satu kampus di Jogja yang hilang di kawasan TNGHS. Alhasil, jalur pendakian ditutup untuk sementara waktu. Akhirnya, saat itu aku harus cukup puas setelah hanya diperbolehkan camping di bawah rimbunnya tegakan pinus, dengan bonus melihat Elang Jawa yang hampir punah terbang dengan gagahnya di atas kanopi pohon pinus. Setidaknya cukup menyegarkan setelah penat dengan rutinitas Jakarta.

Salah satu tempat yang paling memungkinkan untuk melihat spesies langka ini adalah di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Bisa jadi ini adalah benteng terakhir keberadaan Elang Jawa. Maka silahkan datang ke taman nasional ini. Tapi maaf, aku tidak bisa memberikan gambar bagus Elang Jawa. Gerakannya yang sigap dan cepat tampaknya memang hanya bisa ditangkap oleh kamera dan fotografer profesional. Silahakan Googling saja untuk mengetahui rupanya. Hehehe.
Beberapa waktu setelah gagalnya ekspedisi yang pertama ke Gunun Halimun, Kang Edi, seorang kawan sesama Pramuka mengirim SMS untuk ke Kawah Ratu tanggal 14-16 April 2010. Bak gayung bersambut, aku langsung menyatakan untuk ikut.
Jadilah Sabtu pagi aku berangkat sendirian dari kos di bilangan Petojo menuju Stasiun Jakarta Kota. Ya, jujur saja aku memang lebih suka naik kereta daripada moda transportasi lainnya. Ditambah lagi dengan arsitektur stasiun-stasiun lama yang megah, membuat saya makin jatuh cinta dengan moda transportasi rakyat yang mirip ular ini. Salah satunya stasiun yang aku kagumi adalah Stasiun Jakarta Kota. Oud spoor station ini terletak di kawasan Kota Tua Jakarta yang terkenal dengan arsitektur khas peninggalan Belanda, membuat Stasiun Jakarta Kota sangat menarik disinggahi bagi pecinta heritage trip.
Dari stasiun ini, saya memilih KRL Ekonomi AC yang murah, nyaman dan cepat menuju Bogor. Hanya butuh 1,5 jam untuk sampai ke Stasiun Bogor dengan selamat. Setelah turun dari kereta, saya masih harus berganti angkutan tiga kali lagi untuk sampai di Warung Mang Koko, seorang lelaki paruh baya dengan keramahan khas Sunda yang menjadi sahabat para pendaki Gunung Halimun-Salak. Pos Pendakian hanya terletak sepuluh meter jalan kaki dari Warung Mang Koko yang legendaris ini.
Sesampainya di Pos Pendakian, ternyata sudah ada seorang guide muda yang menunggu. Penunjuk arah ini memang sudah dipesan oleh Kang Edi untuk mengantarkanku sampai Base Camp Satu. Celakanya, begitu sampai di pos pendakian, sang Guide langsung ngajak tancap gas. Walaupun jalur terlihat jelas, tetapi jalan yang menanjak berhasil memaksaku untuk ngos-ngosan dan ginjal yang meraung keras minta istirahat. Untungnya, penderitaan itu hanya berlangsung setengah jam saja karena ternyata sudah sampai di Base Camp Satu. Bang Irenx, temanku, ternyata sudah menunggu di Base Camp ini sejak pagi. Sembari menunggu selama hampir 8 jam, ternyata Bang Irenx iseng membuat hasta karya berupa sendok nasi dari kayu. Hahaha.

Perjalanan ke Kawah Ratu akhirnya dilanjutkan, kali ini aku ditemani kak Irenx. Jalur pendakian menuju Kawah Ratu ini khas hutan hujan tropis; sepanjang jalur pendakian nyaris tak pernah tidak ada air. Menyeberang sungai dan menemui curug kecil menjadi pemandangan yang sering dijumpai. Bahkan, jika hujan jalur yang semula terlihat bisa menjadi jalur air. Bisa dikatakan, delapan puluh persen jalur menuju Kawah Ratu merupakan jalur air.



Sesampainya di Kawah Ratu, ternyata rombongan Kang Edi yang sudah berangkat sehari sebelumnya sudah menunggu kami. Jadilah sekarang rombongan berjumlah sepuluh orang; enam cowok dan empat cewek. Kami memutuskan untuk mendirikan tenda di sebelah barat, lebih dekat dengan sungai yang airnya relatif tawar dibandingkan dua aliran sungai lainnya. Well, baru kali ini kulihat kawah yang di sebelahnya mengalir sungai kecil jernih. Sungguh pemandangan yang outstanding! Apalagi ditingkahi dengan semburan gas sulfatara dan asap dari sumber air panas belerang membuat suasana semakin misty. Kalau pagi hari malah lebih kacau, wahh pemandangannya benar-benar bikin merinding.




Bagi hiker pemula, tidak perlu takut mencoba jalur pendakian Kawah Ratu. Untuk orang dengan kondisi tubuh normal, bisa ditempuh dalam tiga jam. Tidak terlalu memberatkan bukan. Sama seperti mendaki Gunung Ijen, Situbondo lah. Apalagi jalur yang dilewati relatif teduh dan banyak air, tentu saja ini akan semakin mempermudah pejalan.
Seandainya hoki, Anda akan dapat bonus menyaksikan Elang Jawa yang dengan perkasa terbang melintas di atas kepala. It’s really outstanding experience. Selamat jalan-jalan, keep Hifatlobrained! []
No comments:
Post a Comment