Jakarta sore itu sama seperti biasanya. Masih dipenuhi dengan rutinitas monoton para manusia metropolitan. Di sudut Thamrin senja itu, saya seperti melihat pertandingan lari marathon di Olympic Games, isinya menusia saling beradu kekuatan otot kaki, berlari sekencang mungkin untuk mengejar kopaja dan busway, tubuh mereka lelah dipenuhi peluh dan target kerja. Begitu saja berulang tanpa akhir. Hectic.
"Koffie Mantep Harganja Djoejoer..."
Sebagai gadis yang hidup di belantara Jakarta, tentu saja saya tidak ingin cepat tua. Maka dari itu, penting bagi saya untuk meluangkan waktu bersama teman. Sekedar ngopi dan duduk santai, sambil minta film bajakan atau main Angry Birds. Sejenak berhenti untuk menertawakan hidup yang kelewat patetik ini.
Sore itu saya mengiyakan ajakan Bondan untuk ngobrol di sebuah warung kopi sederhana di pinggiran jalanan Sabang, namanya Kopitiam Oey. Sebuah warung kopi bergaya peranakan yang kecil namun menarik. Nice.
Warung kopi ini milik Bondan 'Maknyus' Winarno. Dari websitenya saya tahu fakta historis bahwa :
Kopitiam Oey berasal dari kata 'Kafe Tien' dalam dialek Hokkien yang berarti 'Warung Kopi'. Kopitiam Oey -di jaman voor de oorlog disebut Kofflehuls Oey, pertama kali dibuka di jalan Haji Agus Salim 19 (d/h Laan Holle 18), Jakarta Pusat.
Sejarah yang menarik ini membuat saya jadi semakin tertarik untuk mencoba, kebetulan kafe ini tidak jauh dari kantor tempat saya dan Bondan kerja. Jadi memang ini adalah tempat yang pas untuk bertemu, tinggal jalan berapa blok saja, hup hup, maka sampailah saya.
Kami janjian selepas jam pulang kantor. Sebagai sesama penganut faham tenggo (begitu teng langsung go) maka segala kewajiban pekerjaan, sesegera mungkin kami selesaikan dengan tepat waktu. Dengan harapan akan ada waktu lebih, extend, untuk ngobrol berlama-lama.
Saya datang terlambat, Bondan menunggu saya sedikit lama. Yasudahlah, karena perut yang sudah lapar, masuklah kami ke dalam Kopitiam.

Ada kesan arsitektur Tionghoa peranakan saat masuk ke dalam kedai kopi ini. Barisan lampion berwarna merah, padanan kain batik pada kelambu dan taplak meja, dan selembar lukisan klasik bergambar seorang Nonya tanpa baju memperkuat kesan peranakan tersebut.


Beberapa elemen interior juga menarik perhatian saya. Seperti wadah lampu yang bergantungan seperti sangkar burung, serta tulisan-tulisan hokkien yang menggantung di pintu selamat datang dengan warna cat yang senada dengan lampion. Cahaya lampu neon perlahan menjadikan suasana ruangan menjadi cozy. Membuat kami semakin betah ngobrol dan lupa untuk segera memesan makanan. Hahaha.
Begitu membuka menu, mata saya dipaksa untuk membaca ejaan lawas. Macam; Kopi Toebroek Djawa, Ijs Kopi Soesoe, Djoes Djeroek+Ijs Soda atau Koedapan. Widih lucu sekali, batin saya. Sembari meneliti satu-persatu menu yang ditawarkan, saya dan Bondan saling berdiskusi tentang banyak hal, sampai akhirnya menjatuhkan pilihan pada Djoes Apel+Ijs Soda feat. Ijs Tjingtjao Djahe Tjikini sebagai minoeman-nya dan Sate Ajam Ponorogo feat. Mie Kepiting Pontianak sebagai santap malamnya.



Untuk harga, hmm relatif berimbang lah, kisaran dua-puluhan-ribu-something untuk makanan. Sedangkan untuk minuman, harganya masih berkisar belasan ribu rupiah.
Overall, perjalanan kuliner kami malam itu menyenangkan. Ada banyak menu lain yang membuat kami penasaran dan ingin mencobanya lain kali. Silahkan lihat ragam menu di website resmi Kopitiam Oey.
www.kopitiamoey.com
4 comments:
nampaknya ni tempat rame y? dekorasinya pun berantakan klo di liat dri poto. utk ukuran warung kopi kurang cozy menurutkoe.. :)
kapan update lg liputan badogane, heheheh......
sorry om...fotonya emang over exposure yah....memeng dibikin gitu yah...hihihihi
kapan liputan badogane lagi...hihihih
@ mas Bayu: Wah kudune mas yang nulis nih kalo liputan makan-makan... :)
Post a Comment