
Membaca buku traveling ke negeri manaaa gitu dengan andalan: ada teman mengantar, inap gratisan, atau ada tetangga dan saudara yang dituju, lama-lama bikin eneg. Referensinya jadi dangkal, jadi kisahnya seperti sorangan wae, tidak bisa dijadikan acuan. Hati-hati dengan buku "pergi-kemana-gitu-hanya-sekian-rupiah", andalannya ya ada tumpangan gratis...
(Zanni Marjana, 2011, dalam sebuah status Facebook)
Apakah Anda memiliki kegelisahan yang sama? Kami di Hifatlobrain, sudah lama merasa gundah dengan adanya tren buku perjalanan yang sesat ini. Buku mana saja yang sesat? Tidak perlu kami perjelas. Silahkan pergi ke toko buku dan temukan belasan judul buku bertema travel budget yang membuat Anda menyesal, sesaat setelah membuka segelnya di rumah.
Buku-buku ini menawarkan utopia: dengan sedikit uang, Anda bisa jalan-jalan ke luar negeri sampai mblenger. Memang tidak ada yang salah, banyak backpacker yang membuktikan teori ini. Apalagi sekarang situs jejaring sosial untuk traveler juga semakin marak, dari situ banyak biaya esensial yang bisa ditekan oleh para peselancar-sofa (couchsurfer).
Masalahnya, itu menjadi semacam tindakan ceroboh jika variabel penting seperti biaya penginapan tidak dimasukkan dalam prakiraan pengeluaran perjalanan. Mau mengandalkan tawaran inap gratisan? Oh come on! Saat Anda mulai berjalan, maka akan ada banyak hal tak terduga yang terjadi; penerbangan delay, cuaca buruk, dompet hilang, bagasi yang tertukar, host inap yang sedang berduka atau apa pun lah. Jadi jangan sekalipun Anda menggantungkan diri seratus persen pada layanan inap gratisan, seperti yang dianjurkan oleh buku-buku sesat ini.
Jika memang dapat tempat bermalam gratis dari penduduk lokal, ya alhamdulillah. Kalau tidak, ya Anda harus tetap mengusahakan penginapan sendiri bukan? Bagaimana jadinya jika Anda tidak menyiapkan budget khusus untuk bermalam?
Selain variabel biaya inap yang dipangkas -digantikan dengan tawaran bermalam gratis yang bisa ditemukan melalui jejaring sosial traveler- saya mencermati, para penulis buku tidak pernah memasukkan biaya tak terduga. Padahal ini semacam jaminan sederhana, jika terjadi sesuatu yang cilaka atau melemahnya kondisi tubuh lantas jatuh sakit selama perjalanan. Itu tidak pernah dipikirkan oleh para penulis buku bergenre "sekian-juta-keliling-semesta".
Barangkali, yang ada dalam pikiran mereka hanyalah kredo; bujet minim, semakin minim semakin best seller. Maka yang terjadi kemudian adalah penyesatan massa. Eneg rasanya melihat kedangkalan ini menjadi tren. Perasaan eneg juga menyerang Zanni Marjana, seorang pegawai swasta yang tinggal di Surabaya dan aktif di milis Indobackpacker. Sebuah perasaan yang sepertinya menyergap banyak pejalan di negeri ini yang merindukan buku perjalanan yang bermutu. []
PS: Quotation dari Zanni Marjana, diubah seperlunya agar lebih mudah dipahami tanpa merubah konten di dalamnya.
Buku-buku ini menawarkan utopia: dengan sedikit uang, Anda bisa jalan-jalan ke luar negeri sampai mblenger. Memang tidak ada yang salah, banyak backpacker yang membuktikan teori ini. Apalagi sekarang situs jejaring sosial untuk traveler juga semakin marak, dari situ banyak biaya esensial yang bisa ditekan oleh para peselancar-sofa (couchsurfer).
Masalahnya, itu menjadi semacam tindakan ceroboh jika variabel penting seperti biaya penginapan tidak dimasukkan dalam prakiraan pengeluaran perjalanan. Mau mengandalkan tawaran inap gratisan? Oh come on! Saat Anda mulai berjalan, maka akan ada banyak hal tak terduga yang terjadi; penerbangan delay, cuaca buruk, dompet hilang, bagasi yang tertukar, host inap yang sedang berduka atau apa pun lah. Jadi jangan sekalipun Anda menggantungkan diri seratus persen pada layanan inap gratisan, seperti yang dianjurkan oleh buku-buku sesat ini.
Jika memang dapat tempat bermalam gratis dari penduduk lokal, ya alhamdulillah. Kalau tidak, ya Anda harus tetap mengusahakan penginapan sendiri bukan? Bagaimana jadinya jika Anda tidak menyiapkan budget khusus untuk bermalam?
Selain variabel biaya inap yang dipangkas -digantikan dengan tawaran bermalam gratis yang bisa ditemukan melalui jejaring sosial traveler- saya mencermati, para penulis buku tidak pernah memasukkan biaya tak terduga. Padahal ini semacam jaminan sederhana, jika terjadi sesuatu yang cilaka atau melemahnya kondisi tubuh lantas jatuh sakit selama perjalanan. Itu tidak pernah dipikirkan oleh para penulis buku bergenre "sekian-juta-keliling-semesta".
Barangkali, yang ada dalam pikiran mereka hanyalah kredo; bujet minim, semakin minim semakin best seller. Maka yang terjadi kemudian adalah penyesatan massa. Eneg rasanya melihat kedangkalan ini menjadi tren. Perasaan eneg juga menyerang Zanni Marjana, seorang pegawai swasta yang tinggal di Surabaya dan aktif di milis Indobackpacker. Sebuah perasaan yang sepertinya menyergap banyak pejalan di negeri ini yang merindukan buku perjalanan yang bermutu. []
PS: Quotation dari Zanni Marjana, diubah seperlunya agar lebih mudah dipahami tanpa merubah konten di dalamnya.